Apa yang Keliru dengan Ujian Nasional?

Pendahuluan

Ujian Nasional (UN), adalah dua kata yang sangat populer dan menjadi isu nasional yang menuai polemik dan kontroversi sejak diberlakukan pada tahun 2004 sampai saat ini. Bahkan, Mahkamah Agung, mengambil keputusan untuk menolak Kasasi yang diajukan Pemerintah terhadap keputusan Pengadilan Negeri dan keputusan Pengadilan Tinggi tentang Ujian Nasional. Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan peserta didik dari jenjang pendidikan dasar dan menengah, menurut penulis merupakan isu yang sangat kritis untuk segera dibenahi. Mengapa? Karena memberikan dampak negatif yang sangat luar biasa dibandingkan dampak positifnya, baik bagi orang tua, sekolah, pejabat pelaksana pendidikan, dan lebih khusus bagi peserta didik itu sendiri. Kalau tidak segera dibenahi, maka dampak tersebut akan berbahaya bagi kelangsungan bangsa, karena tidak menghasilkan generasi bangsa yang cerdas sebagai manusia seutuhnya seperti diamanatkan oleh Undang Undang Dasar 1945.

Dalam makalah sederhana ini, penulis ingin mencermati dan menuangkan pemikiran tentang dua hal, yaitu: 1) hal-hal apa saja yang keliru dengan ujian nasional; dan 2) bagaimana fungsi ujian (evaluasi hasil belajar, secara umum) dan ujian nasional seharusnya dalam sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu, pembahasan akan meliputi dampak ujian nasional, beberapa kekeliruan terkait dengan ujian nasional, dan diakhiri dengan fungsi evaluasi dan ujian nasional dalam sistem pendidikan. Pendek kata, dalam makalah ini, penulis ingin mencoba membahas upaya mengembalikan atau mendudukkan fungsi ujian, khususnya ujian nasional ke dalam fungsi yang seharusnya dalam sistem pendidikan untuk membangun masyarakat sesuai amanat UUD 1945. Kekeliruan dalam Ujian Nasional

Pada dasarnya, menurut hemat penulis, ada satu kekeliruan mendasar tentang implementasi ujian nasional, yaitu miskonsepsi tentang makna dan fungsi evaluasi pendidikan dalam arti yang sebenar-benarnya. Di mana letak kekeliruannya? Kekeliruan yang sangat mendasar itu adalah ketika Ujian Nasional dijadikan sebagai faktor penentu kelulusan. Secara konsep, evaluasi, di mana salah satu instrumennya adalah ujian, bertujuan untuk meningkatkan pendidikan, bukan hanya sekedar untuk menguji. Sebagaimana ungkapan seorang pakar evaluasi, Stuflebeam yang menyatakan bahwa, “Evaluation is not to proof, but to improve”. Karena kekeliruan konsep ini, ujian nasional bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional dan hakikat dan prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional dan bahkan bertentangan dengan konsep pendidikan secara umum. Terakhir, akibat praktik pendidikan yang tidak sesuai dengan prinsip pendidikan yang sebenarnya akan menghasilkan generasi penerus yang tidak sesuai dengan kebutuhan, sebagai seorang manusia Indonesia seutuhnya.

Miskonsepsi Ujian Nasional: “Evaluation or Marking?”

Hilda Taba dalam bukunya, “Curriculum Development: Theory and Practice” menjelaskan bahwa perdebatan di Amerika Serikat pada jaman dulu adalah adanya kekeliruan konsep tentang dua hal terkait evaluasi, yaitu “evaluation” atau “marking”. Lebih jauh Hlida Taba menuliskan dalam bukunya tersebut bahwa:

“Defining evaluation as marking, reducing everything that is known about the progress of student to a single mark, is the narrowest concept of evaluation”.

Mengacu pada pandangan Hilda Taba tersebut, jelaslah bahwa kekeliruan pertama dan utama terhadap ujian nasional adalah pemahaman yang keliru tentang evaluasi yang menyamakannya sebagai upaya memberikan nilai (marking). Padahal pandangan ini adalah pandangan yang sempit tentang evaluasi, apalagi dalam skala nasional sebagai bagian dari kurikulum pendidikan nasional.

Dalam hal ini, Hilda Taba mendefinisikan evaluasi yang meliputi beberapa hal sebagai berikut:

  1. clarifying of objectives to the point of describing which behaviors represent achievement in particular area;
  2. development and use of variety of ways for getting evidence on changes in students;
  3. appropriate ways of summarizing and interpreting that evidence; and
  4. the use of information gained on the progress of students or the lack of it to improve curriculum, teaching and guidance.

Nampak jelas bahwa evaluasi lebih dari hanya sekedar memberikan tes (ujian) dan nilai terhadap peserta didik. Evaluasi berfungsi untuk memberikan klarifikasi perilaku mana yang berhasil dan perilaku mana yang tidak untuk beberapa hal tertentu. Kedua, untuk membuktikan perubahan dalam diri peserta didik, harus digunakan berbagai cara, bukan hanya satu cara, misalnya “pen on paper test” saja seperti yang terjadi dalam Ujian Nasional dan ujian-ujian lain di sekolah. Ketiga, perlu digunakan berbagai cara yang tepat pula untuk meringkas dan menginterpretasikan bukti yang diperoleh dengan berbagai cara tersebut.

Terakhir, informasi yang diperoleh terkait dengan perkembangan peserta didik tersebut, termasuk di mana letak kelebihan dan kelemahannya, digunakan untuk meningkatkan kurikulum, proses pembelajaran, dan bimbingan terhadap peserta didik. Stuflebeam, seorang pakar evaluasi sudah lama menyatakan bahwa, “Evaluation is not to proof, but to improve”. Artinya, tujuan evaluasi pada dasarnya adalah untuk perbaikan, bukan hanya sekedar untuk menguji.

Karena miskonsepsi tentang evaluasi ini, maka peserta didik (peserta didik) justru menjadi obyek “terpidana”, dalam konteks ujian nasional. Padahal seharusnya, Ujian Nasional sebagai salah satu instrumen evaluasi dalam sistem pendidikan nasional dijadikan sebagai sarana monitoring dan umpan balik (feedback), di mana informasinya dijadikan sebagai upaya untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional itu sendiri, baik dari sisi kurikulum secara keseluruhan, kualitas guru, sarana dan prasarana pendidikan dan lain-lain. Kenyataannya, kenapa peserta didik yang menjadi korban? Penulis mengistilahkannya dengan bahasa yang sedikit provokatif, yaitu, “Ujian Nasional: Peserta didik yang Terpidana”.

Ujian Nasional Bertentangan dengan Hakekat, Tujuan dan Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan Nasional

Prof Dr. Soedijarto menyatakan bahwa Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan tidak sesuai dengan hakikat, tujuan dan prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional. Hakekat pendidikan nasional seperti tetuang dalam UU No. 20 Tahun 2003, seperti tersurat dalam Pasal 1 Ayat (1) tertulis, bahwa:

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.”

Sementara itu, UU No. 20 Tahun 2003 juga menetapkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, seperti tertuang dalam pasal 3 sebagai berikut:

“Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahsa Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.”

Ujian Nasional, lebih menekankan pada kemampuan menghafal dan kemampuan verbal untuk menjawab pertanyaan, sebagai salah satu jenis alat evaluasi, pilihan ganda. Ketentuan ujian nasional sebagai penentu kelulusan tidak mendorong terjadinya suasana dan proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya.

Apa yang terjadi di lapangan? Sangat mengkhawatirkan, sekolah menjadi “pusat bimbingan test”. Guru lebih menekankan pada “drill and practice”, orang tua cenderung berupaya mengirim anaknya ikut “bimbingan tes”, penerbit menerbitkan buku-buku yang lebih menekankan pada cara praktis menyelesaikan soal ujian, dan bahkan pejabat lembaga pendidikan mencari berbagai cara agar semua peserta didik lulus ujian nasional, walaupun harus mengajarkan bahwa “cheating” adalah sah. Ibarat pepatah yang mengatakan, “Kemarau satu tahun dihapus hujan satu hari”. Fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang begitu mulia, tertuang dalam dokumen kebijakan negara (UU No. 20 Tahun 2003), sedianya, untuk mencapai tujuan tersebut harus diimplementasikan dalam setiap sub sistem pendidikan nasional, terhapus sudah oleh satu bagian kecil dari sistem evaluasi pendidikan, yaitu Ujian Nasional yang dijadikan sebagai Penentu Kelulusan.

Prinsip Pendidikan yang Terabaikan

Penulis tidak dapat menyatakan apakah prinsip pendidikan yang terabaikan sebagai akibat dari Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan, atau memang sejak sebelum diberlakukan Ujian Nasional, berbagai prinsip pendidikan yang seharusnya juga sudah terabaikan. Yang jelas, pengalaman sendiri penulis ketika memberikan pelatihan-pelatihan tentang strategi pembelajaran yang efektif, kebanyakan guru menyatakan sulit melakukannya karena harus mengejar penguasaan materi (daya serap). Akibatnya, guru cenderung lebih menerapkan pendekatan ekspositori ketimbang menekankan pendekatan inkuiri yang lebih menuntut peran aktif peserta didik dalam mengembangkan potensi dirinya, sebagai hakikat dan fungsi pendidikan seperti tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003.

Oleh karenanya, Prof. Dr. Soedijarto, dalam makalah yang sama menyatakan bahwa Ujian Nasional tidak mendorong terwujudnya pendidikan sebagai proses pembudayaan seperti diamanatkan UU No. 20 Tahun 2003 Pasal (3), (4) dan (5). Sebagai contoh, pasal (5) menyatakan bahwa,

“Pendidikan diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Sementara Pasal (4) menyatakan bahwa, “Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas dalam proses pembelajarannya.

Bahkan, Ujian Nasional bertentangan dengan prinsip pendidikan yang dicanangkan oleh UNSECO. Jacques Delors, dkk menjelaskan empat pilar pendidikan yang meliputi kemampuan learning to know/learn, learning to do, learning to be, learning to live together yang merupakan kemampuan yang saling terkait satu sama lain.

Learning to know, adalah fungsi pendidikan dalam membangun peserta didik memiliki kemampuan berkonsentrasi, mencari tahu dan berpikir sehingga fungsi pendidikan adalah membekali kemampuan peserta didik untuk belajar bagaimana belajar (learning how to learn). Learning to do adalah fungsi pendidikan untuk membangun keterampilan bekerja dimasa mendatang. Terkait dengan era informasi saat ini, maka learning to do bukan hanya sekedar membekali kemampuan mengerjakan pekerjaan khusus seperti pada era industri, tapi lebih jauh juga membekali keterampilan berinovasi. Learning to be adalah fungsi pendidikan untuk mengembangkan manusia sebagai manusia utuh yang meliputi jiwa dan raga (main and body), intelektual, kepekaan, spiritual, apresiasi estetik, dan lain-lain. Pilar ini juga adalah sebagai wujud kekhawatiran akan terjadinya dehumanisasi. Learning to live together adalah fungsi pendidikan untuk membangun kemampuan untuk hidup berdampingan secara harmonis, menyadari kesamaan hak dan kewajiban, menyadari keniscayaan akan suatu perbedaan dan saling menghargai dan menghormati satu sama lain.

Nampaknya prinsip pendidikan yang sudah diamanatkan undang-undang dan UNESCO ini masih terabaikan. Proses pendidikan yang dilakukan guru demi untuk mengejar daya serap materi dan pencapaian ujian nasional melalui proses pembelajaran yang lebih berpusat pada guru di mana guru berperan sebagai pencekok informasi dan drill and practice, menyebabkan peserta didik hanya memperoleh “PENGETAHUAN TENTANG”, bukan “KEMAMPUAN UNTUK …”. Tidaklah heran kalau peserta didik lebih cenderung menyukai “life style” ketimbang “life skills”.

Implementasi ujian nasional, karena dijadikan sebagai faktor penentu kelulusan, telah menghasilkan keteladanan yang seharusnya tidak menjadi teladan. Berbagai upaya yang dilakukan oleh oknum pelaksana pendidikan (Dinas Pendidikan, Kepala Sekolah, Guru, dll) justru tidak membangun akhlak mulia dan kemauan keras. Akhirnya banyak kasus yang menunjukkan anak yang sehari-hari di kelas mendapatkan nilai tinggi tidak lulus ujian nasional, sementara anak yang biasa (tidak “pintar”) lulus ujian.

Fungsi Ujian dan Ujian Nasional dalam Sistem Pendidikan

Pertanyaan besar yang timbul seterusnya adalah, “Apakah ujian nasional harus dihilangkan?”, “Jika tidak, bagaimana seharusnya ujian nasional difungsikan dalam sistem pendidikan nasional? . Jika kita lihat bahasan sebelumnya, jelaslah terlihat bahwa yang keliru bukan pada ujian nasionalnya, tapi pada fungsi ujian nasional sebagai penentu kelulusan. Karena jelas, dari sisi hukum, bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2003. Bahkan bertentangan dengan prinsip pendidikan secara umum. Walaupun penentu kelulusan tidak hanya diambil dari nilai ujian nasional, tapi juga dari nilai yang diberikan oleh satuan pendidikan, dalam hal ini sekolah, nampaknya penulis masih tidak setuju kalau UN dijadikan sebagai penentu kelulusan yang mengakibatkan peserta didik terhambat atau “tervonis” untuk mengikuti jenjang pendidikan berikutnya. Oleh karena itu, Ujian Nasional tidak perlu dihapuskan, tapi ujian nasional tersebut, termasuk ujian lain di sekolah perlu kita posisikan pada kedudukan dan fungsi yang seharusnya.

Memosisikan ujian nasional pada posisi yang seharusnya, penulis merujuk pada Livingston dkk. Livingston dkk., menjelaskan beberapa fungsi ujian (common use of educational assessment), yatu sebagai: 1) evaluasi peserta didik (student evaluation); 2) keputusan pembelajaran (instructional decisions); 3) keputusan pemilihan, penempatan dan pengelompokkan (selection, placement and classification decisions) ; 4) keputusan kebijakan (policy decisions); dan 5) keputusan bimbingan dan konseling (counceling and guidance decisions).

Ujian Nasional sebagai Evaluasi Peserta Didik

Dalam hal ini, Livingston dkk., menyatakan dengan jelas bahwa walaupun ujian dilakukan sebagai evaluasi sumatif, seperti berlaku pada ujian nasional, maka fungsinya adalah sebagai umpan balik, baik bagi siswa itu sendiri, maupun orang tua yang menginformasikan tentang perkembangan peserta didik, yaitu kelebihan dan kelemahannya. Apalagi, kalau ujian tersebut dilakukan sebagai upaya evaluasi formatif. Dalam konteks ini, ujian yang dilakukan oleh guru, yang nantinya akan menjadi salah satu penentu kelulusan (40%), sebaiknya memberikan umpan balik di mana kurangnya peserta didik dalam menguasai hal yang harus dikuasainya dan di mana yang sudah terpenuhi. Sehingga, dalam waktu berikutnya, peserta didik bisa mengembangkan dirinya pada aspek yang belum dikuasai penuh. Ujian Nasional pun, walaupun sifatnya sumatif, sebaiknya cukup dijadikan sebagai upaya memberikan gambaran di mana kelebihan peserta didik dan pada bagian mana kelemahan yang harus diperbaiki dimasa mendatang. Hal-hal yang harus diperbaiki di masa mendatang, tentunya bukan hanya sebatas hal-hal terkait dengan kemampuan kognitif saja, tapi semua aspek baik perkembangan emosional, spiritual, sosial, dan aspek perkembangan lainnya yang diperlukan sebagai manusia seutuhnya. Adalah tidak adil, seorang siswa yang memiliki potensi tinggi, tidak lulus UN, tidak pula bisa melanjutkan studi lebih tinggi, dan dia pun tidak tahu kekurangan dirinya dalam hal apa sehingga kesempatan untuk studi lebih tinggi (katakanlah masuk perguruan tinggi) jadi terhambat.

Ujian Nasional sebagai Keputusan Pembelajaran (Instructional Decision)

Evaluasi pendidikan, pada dasarnya memberikan informasi penting yang dapat membantu guru menyesuaikan dan meningkatkan praktik mengajarnya. Hasil evaluasi dapat dijadikan sebagai informasi yang dapat membantu guru menentukan apa yang harus diajarkan, bagaimana mengajarkannya, dan sejauh mana efektivitas proses pembelajaran yang sudah dilakukan. Dalam konteks Ujian Nasional, pada dasarnya secara keseluruhan, dapat dilihat pada mata pelajaran apa saja yang masih lemah sehingga lebih jauh dapat diidentifikasi kemungkinan-kemungkinan penyebabnya. Informasi hasil ujian nasional, sebaiknya dijadikan sebagai dasar untuk memperbaiki proses pembelajaran.

Ujian Nasional sebagai Sarana Seleksi dan Penempatan

Seleksi dan penempatan merupakan dua kata yang saling berkaitan. Jadi, Livingston menyatakan bahwa ujian dapat dijadikan sebagai sarana memilih (menyeleksi) dan menempatkan pada tempat yang sebaiknya. Dalam konteks Ujian Nasional, jika dilakukan dengan sebenarnya, bukan sebagai penentu kelulusan, dapat dijadikan sebagai sarana memilih atau menyaring siswa dalam tanda petik, “pintar” dan atau “kurang pintar”. Sehingga, katakanlah untuk lulusan SMA, pemerintah dapat mengarahkan lulusan dengan nilai tinggi pada kelompok mata pelajaran tertentu dapat melanjutkan kuliah pada program studi tertentu, begitu pula sebaliknya. Misal, untuk siswa yang nilai MIPA (Matematika dan IPA tinggi) dapat memilih fakultas tertentu, seperti kedokteran, teknik, dan lain-lain.

Ujian Nasional sebagai Keputusan Bimbingan dan Konseling

Ujian dapat memberikan informasi yang mendorong pemahaman-diri (self-understanding) yang dapat membantu peserta didik merencanakan masa depannya. Hal ini terkait dengan ujian sebagai alat mengevaluasi siswa dan alat seleksi dan penempatan seperti dijelaskan sebelumnya. Mengacu pada hasil ujian peserta didik dan orang tua dapat merencanakan masa depan dan karier yang sesuai untuk dirinya. Ujian nasional, sedianya dijadikan sebagai gambaran bakat dan minat siswa, sehingga peserta didik dapat menyiapkan masa depannya dengan sebaik-baiknya.

Ujian Nasional sebagai Keputusan Kebijakan (Policy Decision)

Hasil evaluasi pendidikan pada dasarnya mencerminkan kuat lemahnya implementasi sistem pendidikan dilihat dari berbagai aspek. Oleh karena itu, hasil evaluasi pendidikan menurut Livingston dkk, dapat dijadikan sebagai saran memutuskan kebijakan apa saja yang harus diambil baik level nasional, maupun sekolah terkait dengan kualitas pendidik, kurikulum, sarana dan prasarana, pendanaan dan lain-lain.

Dalam konteks Ujian Nasional, pada dasarnya secara keseluruhan, dapat dilihat pada mata pelajaran apa saja yang masih lemah sehingga lebih jauh dapat diidentifikasi kemungkinan-kemungkinan penyebabnya. Informasi hasil ujian nasional, sebaiknya dijadikan sebagai dasar untuk memperbaiki proses pembelajaran. Sehingga, berkaca dari hasil ujian nasional, yang secara keseluruhan nilainya masih rendah, menunjukkan betapa praktek pembelajaran di sekolah-sekolah Indonesia yang juga masih rendah. Hal ini, dapat disebabkan oleh banyak factor, diantaranya kualitas guru, sarana dan prasarana, pendanaan dan lain-lain. Seharusnya, mengacu pada hasil ujian nasional yang telah beberapa tahun diselenggarakan, pemerintah melakukan peneleitian yang komprehensif untuk menjawab satu pertanyaan penelitian mendasar, “Mengapa hasil ujian nasional rendah?”, Ada apa dengan system pendidikan nasional kita?. Fokus permasalahan inilah yang sebaiknya dijawab, bukan malah menaikan secara bertahap standar nilai kelulusan UN, tanpa secara sistemik memperbaiki komponen lain dari subsistem pendidikan nasional. Mengacu pada hasil penelitian yang komprehensif ini, maka pemerintah melakukan berbagai kebijakan relevan lain terkait dengan sistem pendidikan nasional yang meliputi upaya peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan, pendanaan pendidikan, mutu sarana pendidikan, kurikulum nasional, proses pembelajaran, dan lain-lain.

Kesimpulan

  1. Ujian Nasional (UN) yang telah berlangsung sejak tahun 2004, telah membawa kontroversi dan polemik sampai saat ini. Polemik dan kontroversi ini terjadi sebagai akibat dari miskonsepsi (kekeliruan pemahaman) tentang makna evaluasi yang seharusnya.
  2. Kekeliruan pemahaman ini, telah menjadikan fungsi Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan. Disinilah akar permasalahan utamanya. Ujian nasional itu sendiri tidak salah adanya, tapi, adalah keliru kalau dijadikan sebagai penentu kelulusan.
  3. Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
  4. Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan membawa dampak negatif yang berbahaya dalam upaya membangun bangsa sesuai amanat UUD 45 dan UU No. 20 Tahun 2003, di antaranya adanya kecenderungan 1) sekolah berfungsi sebagai “pusat bimbingan tes”, bukan pusat pembudayaan; 2) proses pembelajaran yang tidak sesuai dengan prinsip pendudukan, cenderung perpusat pada guru dan “drill and practice” menghambat perkembangan potensi anak secara optimal; 3) oknum pejabat pendidikan, kepala sekolah dan guru yang berupaya membuat siswa lulus dengan berbagai cara, termasuk membolehkan “cheating” masif dan sistemik, justru memberikan teladan yang tidak baik, tidak mendorong pengembangan akhlak dan moral bangsa yang mulia.
  5. Kondisi tersebut, tentu saja tidak bisa dibiarkan terus terjadi. Sehingga, dipandang perlu, fungsi evaluasi pendidikan, khususnya dalam hal ini Ujian Nasional diposisikan pada posisi yang seharusnya, bukan sebagai penentu kelulusan.
  6. Fungsi ujian (asesmen lain) di sekolah dan Ujian Nasional sebaiknya dijadikan sebagai dasar: (1) evaluasi perkembangan peserta didikan; (2) evaluasi proses pembelajaran; (3) seleksi, penempatan serta pengelompokan peserta didik sesuai dengan potensinya masing-masing yang unik; (4) pengambilan kebijakan sistem pendidikan nasional; dan (4) keputusan bimbingan dan konseling untuk menentukan masa depan dan karier peserta didik.
  7. Dalam konteks Ujian Nasional, berkaca dari hasil Ujian Nasional yang sampai saat ini masih belum memuaskan (nilai rata-rata rendah), sebaiknya dilakukan penelitian yang komprehensif untuk menjawab dua pertanyaan sederhana tapi mendalam, yaitu: “Mengapa rata-rata nilai Ujian Nasional Rendah? Ada apa dengan sistem pendidikan nasional?”. Hasilnya dijadikan sebagai dasar pengambilan kebijakan sistem pendidikan nasional ke depan baik dilihat dari upaya perbaikan mutu pendidik dan tenaga kependidikan, pendanaan pendidikan, kurikulum nasional, sarana dan prasarana, proses pembelajaran dan lain-lain.

Referensi:

  • Livingston, Ronald B., Reynolds, Cecil, R., Wilson, Victor, “Measurement and Assessment in Education”, (USA: Library of Congress Cataloging-in-Publication Data, 2006)
  • Soedijarto, (2010) dalam makalah, “Ujian Nasional Pada Hakekatnya Tidak Sesuai dengan Hakekat, Tujuan dan Prinsip Penyelenggaraan Sistem Pendidikan Nasional”, yang disampaikan sebagai masukan kepada Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia.
  • Taba, Hilda, “Curriculum Development: Theory and Practice”, (Harcourt, Brace & World, Inc: NY, Chicago, San Francisco, Atalanta)
  • UNESCO, “The Four Pilars of Education”, http://www.unesco.org/delors/fourpil.htm diakses tanggal 14/15/2009
  • Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Apa yang Keliru dengan Ujian Nasional?” oleh Uwes Anis Chaeruman, dipublikasikan pada 18 Agustus 2011 di teknologipendidikan.net. Tersedia di: http://www.teknologipendidikan.net/2011/08/18/apa-yang-keliru-dengan-ujian-nasional/ under CC BY-ND License Tersedia juga di Wayback Machine